Bung Karno

Bung Karno
Bapak Marhaenis

Wednesday, 13 October 2010

MAKNA PANCASILA YANG SEBENARNYA

“Jangan sekali-kali melupakan sejarah!” demikian isi pidato terakhir kenegaraan Bung Karno. Kita sadar bahwa sejarah jadi lebih penting diingat saat hidup tak bertaut dengan suasana genting antara menentukan pilihan hidup merdeka atau pasrah menerima penjajahan. Kita manusia abad 21 yang terus memekikkan “merdeka” dengan baju rapi dan rasa hormat yang tinggi. Teringan dengan sejarah, saya yakin saudara- saudara masih ingat kejadian tanggal 1 oktober yaitu hari kesaktian pancasila. Selama lebih dari 30 tahun, para pendiri rezim militer Orde Baru (terutama dari kalangan TNI-AD) telah menyalahgunakan dan melacurkan Pancasila, dalam rangka untuk melaksanakan de-Sukarnoisasi, dan menghancurkan kekuatan utama pendukung politik Bung Karno, yaitu GmnI dan golongan kiri lainnya. Dengan Pancasila yang sudah dipalsu - atau dibunuh jiwa aslinya- para tokoh militer telah memaksakan legitimasi Orde Baru. Dewasa ini, sisa-sisa kekuatan rezim militer Suharto dkk masih terus berusaha menggunakan (secara licik!) Pancasila untuk mempamerkan barang dagangan mereka yang busuk dan sudah dinajiskan oleh banyak orang, yaitu Orde Baru. Orde Baru telah menyerobot Pancasila dari tangan penciptanya, Bung Karno, dan memakainya untuk hal-hal yang justru bertentangan sama sekali dengan jiwa asli Pancasila.
Kita sebagai mahasiswa, harus memaknai betul makna dari pancasila itu, dimana pancasila adalah ideology Negara kita. Makna pancasila dapat kita ketahui dalam dua jilid buku “Revolusi belum selesai” dapat dibaca kumpulan pidato-pidato Bung Karno sesudah peristiwa G30S, yang banyak menyinggung masalah Pancasila. Berikut adalah satu bagian kecil sekali dari pidato beliau dalam sidang paripurna Kabinet Dwikora di Bogor pada tanggal 6 November 1965 (yaitu kita-kira sebulan lebih setelah terjadinya G30S, ketika para pembesar militer pendukung Suharto mulai menggunakan Pancasila untuk menyerang Bung Karno) :
“Jangan kira, Saudara-saudara, kiri is alleen maar (keterangan : bahasa Belanda, yang artinya : hanyalah ) anti-imperialisme. Jangan kira kiri hanya anti-imperalisme, tetapi kiri juga anti-uitbuiting (penghisapan). Kiri adalah juga menghendaki satu masyarakat yang adil dan makmur, di dalam arti tiada kapitalisme, tiada exploitation de l’homme par l’homme, tetapi kiri. Oleh karena itu saya berkata tempo hari, Pancasila adalah kiri. Oleh karena apa ? Terutama sekali oleh karena di dalam Pancasila adalah unsur keadilan sosial. Pancasila adalah anti-kapitalisme. Pancasila adalah anti-exploitation de l’homme par l’homme. Pancasila adalah anti-exploitation de nation par nation. Karena itulah Pancasila kiri” (Revolusi belum selesai, halaman 77).
Sehingga penulis ingin menyampaikan 1 pesan kepada kawan- kawan seluruhnya menghasut orang-orang terjajah untuk merdeka,. Kita najiskan.
Hidup Mahasiswa….!!!!!

Sunday, 3 October 2010

FILSAFAT PENDIDIKAN PROGRESIVISME

BAB I
PENDAHULUAN

Ada banyak aliran filsafat pendidikan mulai dari empirisme, pragmatisme, progresivisme, rekonstruksionisme sampai dengan mazhab pendidikan kritis. Kali ini akan dibahas secara singkat tentang aliran filsafat pendidikan progresivisme sekaligus metodenya dalam mengajar. Tokoh progresivisme yang cukup penting untuk diketahui adalahJohn Dewey dan William O. Stanley yang merupakan seorang profesor dari University of Illinois. Progresivisme dalam ranah filsafat pendidikan itu sendiri dapat didefinisikan sebagai prinsip yang menganggap bahwa pendidikan itu dimulai dari anak didik itu sendiri yang berinteraksi dengan lingkungan sosialnya. Jadi seorang anak didik tidak harus disuruh membaca dan mengimani buku secara terus menerus, tetapi juga harus bisa mencari jawaban otentik tentang mengapa begini dan mengapa begitu.
Aliran filsafat pendidikan progresivisme secara garis besar dapat diuraikan menjadi beberapa pokok yaitu:
• Menolak praktek pendidikan tradisonal yang dianggap terlalu mementingkan disiplin, pasif, dan bertele-tele.
• Perubahan merupakan inti dari kenyataan.
• Pendidikan merupakan proses perubahan.
• Metode atau kebijakan senantiasa berubah sesuai dengan perubahan lingkungan.
• Mutu terletak pada adanya kemampuan untuk merekonstruksi pengalaman terus menerus, bukan pada standar kebaikan, kebenaran, dan keindahan yang abadi.
• Pendidikan hendaklah merupakan kehidupan itu sendiri, bukan persiapan untuk hidup.
• Belajar disangkutpautkan dengan minat subjek didik.
• Belajar melalui pemecahan masalah lebih utama daripada belajar pasif.
• Peranan pendidik bukan menuntun namun lebih sebagai pemberi nasihat.
• Sekolah hendaknya mengembangkan kerjasama bukan persaingan. Adanya demokrasi memungkinkan saling tukar menukar ide secara bebas yang amat berguna bagi perkembangan subjek didik. (Materi kuliah Filsafat Pendidikan)
Metode Filsafat Pendidikan Progresivisme
Pengaplikasian dari filsafat pendidikan progresivisme ini juga dapat dituangkan dalam bentuk metode yang riil. Metode mengajar dengan dasar filsafat pendidikan progresivisme antara lain adalah:
• Memberikan soal latihan dalam bentuk teka-teki kepada anak didik.
• Membuat kelompok atau grup belajar, dengan mengelompokkan minat masing-masing anak pada suatu topik.
• Membicarakan topik hangat yang sedang beredar di masyarakat secara bersama-sama di dalam ruang kelas.
Masih banyak pengembangan metode filsafat pendidikan lainnya yang dapat diterapkan kepada anak didik. Tentunya berbagai metode yang akan digunakan harus diuji coba terlebih dahulu sehingga dapat diambil kesimpulan apakah sebuah metode mendidikan tepat digunakan atau tidak.















BAB II
PEMBAHASAN
Progressivisme mempunyai konsep yang didasari oleh pengetahuan dan kepercayaan bahwa manusia itu mempunyai kemampuan-kemampuan yang wajar dan dapat menghadapi masalah yang menekan atau mengecam adanya manusia itu sendiri. Aliran Progressivisme mengakui dan berusaha mengembangakan asas Progressivisme dalam semua realitas, terutama dalam kehidupan adalah tetap survive terhadap semua tantangan hidup manusia, harus praktis dalam melihat segala sesuatu dari segi keagungannya. Berhubungan dengan itu progressivisme kurang menyetujui adanya pendidikan yang bercorak otoriter, baik yang timbul pada zaman dahulu maupun pada zaman sekarang.
Pendidikan yang bercorak otoriter ini dapat diperkirakan mempunyai kesulitan untuk mencapai tujuan, karena kurang menghargai dan memberikan tempat semestinya kepada kemampuan-kemampuan tersebut dalam proses pendidikan. Pada hal semuanya itu ibaratkan motor penggerak manusia dalam usahanya untuk mengalami kemajuan atau progress.
Oleh karena itu kemajuan atau progress ini menjadi inti perhatian progressivisme, maka, beberapa ilmu pengetahuan yang mampu menumbuhkan kemajuan dipandang oleh progresivisme merupakan bagian-bagian utama dari kebudayaan. Progresivisme dinamakan instrumentalisme, karena aliran ini beranggapan bahwa kemampuan intelegensi manusia sebagai alat untuk hidup, kesejahteraan, mengembangkan kepribadian manusia. Dinamakan eksperimentalisme, karena aliran tersebut menyadari dan mempraktekkan asa eksperimen yang merupakan untuk menguji kebenaran suatu teori. Sedangkan dinamakan environmetalisme karena aliran ini menganggap lingkungan hidup itu mempengaruhi pembinaan kepribadian.
Progresivisme yang lahir sekitar abad ke-20 merupakan filsafat yang bermuara pada aliran filsafat pragmatisme yang diperkenalkan oleh William James (1842-1910) dan John Dewey (1859- 1952), yang menitikberatkan pada segi manfaat bagi hidup praktis.
Filsafat progressivisme dipengaruhi oleh ide-ide dasar filsafat pragmatisme dimana telah memberikan konsep dasar dengan azas yang utama yaitu manusia dalam hidupnya untuk tetap survive terhadap semua tantangan, harus pragmatis memandang sesuatu dari segi manfaatnya.
Di sini kita bisa menganggap bahwa filsafat progressivisme merupakan The Liberal Road of Culture (kebebasan mutlak menuju kearah kebudayaan) maksudnya nilai-nilai yang dianut bersifat fleksibel terhadap perubahan, toleran dan terbuka sehingga menuntut untuk selalu maju bertindak secara konstruktif, inovatif dan reformatif, aktif serta dinamis. Untuk mencapai perubahan tersebut manusia harus memiliki pandangan hidup yang bertumpu pada sifat-sifat: fleksibel, curious (ingin mengetahui dan menyelidiki), toleran dan open minded.
Filsafat progressivisme telah memberikan kontribusi yang besar di dunia pendidikan, dimana telah meletakkan dasar-dasar kemerdekaan dan kebebasan kepada peserta didik. Anak didik diberikan kebebasan secara fisik maupun cara berfikir, guna mengembangakan bakat, kreatifitas dan kemampuan yang terpendam dalam dirinya tanpa terhambat oleh rintangan yang dibuat oleh orang lain.
Berdasarkan pandangan di atas maka sangat jelas sekali bahwa filsafat progressivisme bermaksud menjadikan anak didik yang memiliki kualitas dan terus maju sebagai generasi yang akan menjawab tantangan zaman peradaban baru.
A. ONTOLOGI
Sifat utama darai pragmatisme mengenai realita, sebenarnmya dapat dikatakan John Dewey, dalam bukunya yang berjudul Creative Intelligence, mengatakan;
“….. dengan tepat bahwa tiada teori realita yang umum.”
Diantara kaum pragmatis – jadi progresivis – John Dewey mempunyai pandangan yang ekstrim, sebab tokoh-tokoh lain tidaklah demikian. Mereka mengatakan bahwa metafisika itu ada, karena pragmatisme mempunyai konsep tentang eksistensi. Misalnya, dari sudut eksistensi alam bukanlah diartikan sebagai pengertian yang substansial, melainkan diartikan atau dipandang dari sudut prosesnya.
Uraian di atas menunjukkan bahwa ontologi progresivisme mengandung pengertian dan kualitas evolusionistis yang kuat. Pengalaman diartikan sebagai ciri dinamika hidup, dan hidup adalah perjuangan, tindakan dan perbuatan. Manusia akan tetap hidup berkembang, jika ia mampu mengatasi perjuangan, perubahan dan berani bertindak. Jelaslah, bahwa selain kemajuan atau progress, lingkungan dan pengalaman mendapatkan perhatian yang cukup dari progresivisme. Sehubungan dengan ini, menurut progresivisme, ide-ide, teori-teori atau cita-cita tidaklah cukup diakui sebagai hal-hal yang ada, tetapi yang ada ini haruslah dicari artinya bagi suatu kemajuan atau maksud-maksud yang lainnya. di samping itu manusia harus dapat memfungsikan jiwanya untuk membina hidup yang mempunyai banyak persoalan dan yang silih berganti.
Ontologi merupakan salah satu kajian kefilsafatan yang paling kuno dan berasal dari Yunani. Studi tersebut mebahas keberadaan sesuatu yang bersifat konkret. Tokoh Yunani yang memiliki pandangan yang bersifat ontologis dikenal seperti Thales, Plato, dan Aristoteles . Pada masanya, kebanyakan orang belum membedaan antara penampakandengan kenyataan. Thales terkenal sebagai filsuf yang pernah sampai pada kesimpulan bahwa air merupakan substansi terdalam yang merupakan asal mula segala sesuatu. Namun yang lebih penting ialah pendiriannya bahwa mungkin sekali segala sesuatu itu berasal dari satu substansi belaka (sehingga sesuatu itu tidak bisa dianggap ada berdiri sendiri).
B. EPISTIMOLOGI
Epistemologi, (dari bahasa Yunani episteme (pengetahuan) dan logos(kata/pembicaraan/ilmu) adalah cabang filsafat yang berkaitan dengan asal, sifat, dan jenis pengetahuan. Topik ini termasuk salah satu yang paling sering diperdebatkan dan dibahas dalam bidang filsafat, misalnya tentang apa itu pengetahuan, bagaimana karakteristiknya, macamnya, serta hubungannya dengan kebenaran dan keyakinan.Epistomologi atau Teori Pengetahuan berhubungan dengan hakikat dari ilmu pengetahuan, pengandaian-pengandaian, dasar-dasarnya serta pertanggung jawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki oleh setiap manusia.

Pengetahuan tersebut diperoleh manusia melalui akal dan panca indera dengan berbagai metode, diantaranya; metode induktif, metode deduktif, metode positivisme, metode kontemplatis dan metode dialektis.Tinjauan mengenai realita di atas memberikan petunjuk pragmatisme lebih mengutamakan pembahasan mengenai epistemologi daripada metafisika. Misal yang jelas adalah tinjauan mengenai kecerdasan dan pengalaman – yang keduanya tidak dapat dilepaskan satu sama lain – agar dapat dimengerti arti masing-masing itu.
Pengetahuan yang merupakan hasil dari aktivitas tertentu diperoleh manusia baik secara langsung melalui pengalam dan kontak dengan segala realita dalam lingkungan hidupnya, ataupun pengetahuan yang diperoleh melalui catata-catatan – buku-buku, kepustakaan.
Untuk mengtahui teori pengetahuan yang dimaksud, perlu kiranya menunjau istilah-istilah dan arti seperti induktif, rasional dan empirik. Induktif merupakan usaha untuk memperoleh pengetahuan dengan mengambil data khusus terlebih dahulu dan diikuti dengan penarikan kesimpulan secara umum. Deduktif adalah sebaliknya, artinya dengan pengetahuan yang diperoleh dengan berlandaskan ketentuan umum yang berupa postulat –postulat dan spekulatif.
Dalam epistemologi, rasional berarti suatu pandangan bahwa akal adalah instrument utama bagi manusia untuk memperoleh pengetahuan. Empirik adalah sifat pandangan bahwa persepsi indera adalah media yang memberikan jalan bagi manusia untuk memahami lingkungan. Fakata yang masih murni saja – yang belum diolah atau disusun – belum merupakan pengetahuan. Sehingga masih membutuhkan pengorganisasian tertentu dari “bahan-bahan mentah” tersebut.
Pengetahuan harus disesuaikan dan dimodifikasi dengan realita baru di dalam lingkungan. Oleh sebab adanya prisip-prinsip epistemologi tersebut di atas, progresivisme mengadakan pembedaan anatara pengetahuan dan kebenaran. Pengetahuan adalah kumpulan kesan-kesan dan penerangan yang terhimpun dari pengalaman yang siap untuk digunakan. Sedangkan kebenaran ialah hasil tertentu dari usaha untuk mengetahui, memiliki dan mengarahklan beberapa segmen pengetahuan agar dapat menumbuhkan petunjuk atau penyelesaian pada situasi tertentu yang mungkin keadaannya kacau.
Dalam hubungan ini kecerdasan merupakan faktor utama yang mempunyai kedudukan sentral. Kecerdasan adalah faktor yang dapat mempertahankan adanya hubungan anatara manusia dengan lingkungan, baik yang berwujud lingkungan fisik, maupun kebudayaan atau manusia.
Sementara kaum realis modern, pragmatis, empirisis logis, atau naturalis mengambil tesis falibilistik bahwa pengetahuan adalah bersifat kontingen dari perubahan serta kebenaran bersifat relatif sesuai dengan kondisinya.
Dari sini, epistemologi adalah bidang tugas filsafat yang mencakup identifikasi dan pengujian kriteria pengetahuan dan kebenaran. Pernyataan kategoris yang menyebutkan bahwa “ini kita tahu” atau “ini adalah kebenaran” merupakan pernyataan-pernyataan yang penuh dengan makna bagi para pendidik karena sedikit banyak hal tersebut bertaut dengan tujuan pendidikan yang mencakup pencarian pengetahuan dan perburuan kebenaran.

C. AXIOLOGI
Aksiologi berasal dari kata axios dan logos. Axios artinya nilai atau sesuatu yang berharga, logos artinya akal, teori. Axiology artinya teori nilai, penyelidikan tentang kodrat, kriteria dan status metafisik dari nilai.
Nilai tidak timbul dengan sendirinya, melainkan ada faktor-faktor yang merupakan pra syarat. Nilai timbul karena manusia mempunyai bahasa, sehingga memungkinkan adanya relevansi seperti yang ada dalam masyarakat pergaulan. Oleh karena adanya faktor-faktor yang menentukan adanya nilai, maka makna nilai itu tidaklah bersifat eksklusif. Ini berarti berbagai jenis nilai seperti benar atau salah, baik atau buruk dapat dikatakan ada bila menunjukkan adanya kecocokan dengan hasil pengujian yang dialami manusia dalam pergaulan.
Berdasarkan pandangan diatas, progresivisme tidak mengadaklan pembedaan tegas antara nilai instrinsik dan nilai instrumental. Dua jenis nilai ini saling bergantung satu sama lain seperti juga halnya pengetahuna dan kebenaran.
Misalnya bila dikatakan bahwa kesehatan itu selalu bernilai baik tidaklah semata-mata suatu ilustrasi tentang nilai instrinsik. Nilai kesehatan akan dihayati oleh manusia dengan lebih nyata bila dihubungkan dengan segi-segi yang bersifat operasional; bahwa kesehatan yang baik akan mendatangkan kesejahteraan bagi masyarakat.
Hubungan timbal balik dua sifat nilai instrinsik dan instrumental ini – menyebabkan adanya sifat perkembangan dan perubahan pada nilai. Nilai-nilai yang sudah tersimpan sebagai bagian dari kebudayaan itu ditampilkan sebagai bagian dari pengalaman, sedang individu-individu mampu untuk mengadakan tinjauan dan penentuan mengenai standar sosial tertentu. Karena itu nilai merupakan bagian integral dari pengalaman dan bersifat relative, temporal dan dinamis. Maka sifat perkembangannya berdasarkan pada dua hal; untuk diri sendiri dalam arti kebaikan instrinsik dan untuk lingkungan yang lebih luas dalam arti kebaikan instrumental. aksiologi bisa disebut sebagai the theory of value atau teori nilai. Bagian dari filsafat yang menaruh perhatian tentang baik dan buruk (good and bad), benar dan salah (right and wrong), serta tentang cara dan tujuan (means and ends). Aksiologi mencoba merumuskan suatu teori yang konsisten untuk perilaku etis. Ia bertanya seperti apa itu baik (what is good?). Tatkala yang baik teridentifikasi, maka memungkinkan seseorang untuk berbicara tentang moralitas, yakni memakai kata-kata atau konsep-konsep semacam “seharusnya” atau “sepatutnya” (ought / should). Demikianlah aksiologi terdiri dari analisis tentang kepercayaan, keputusan, dan konsep-konsep moral dalam rangka menciptakan atau menemukan suatu teori nilai.
Terdapat dua kategori dasar aksiologis; (1) objectivism dan (2) subjectivism. Keduanya beranjak dari pertanyaan yang sama: apakah nilai itu bersifat bergantung atau tidak bergantung pada manusia (dependent upon or independent of mankind)? Dari sini muncul empat pendekatan etika, dua yang pertama beraliran obyektivis, sedangkan dua berikutnya beraliran subyektivis.


BAB III
KESIMPULAN
Progressivisme mempunyai konsep yang didasari oleh pengetahuan dan kepercayaan bahwa manusia itu mempunyai kemampuan-kemampuan yang wajar dan dapat menghadapi masalah yang menekan atau mengecam adanya manusia itu sendiri. Aliran Progressivisme mengakui dan berusaha mengembangakan asas Progressivisme dalam semua realitas, terutama dalam kehidupan adalah tetap survive terhadap semua tantangan hidup manusia, harus praktis dalam melihat segala sesuatu dari segi keagungannya. Berhubungan dengan itu progressivisme kurang menyetujui adanya pendidikan yang bercorak otoriter, baik yang timbul pada zaman dahulu maupun pada zaman sekarang.
Ontologi progresivisme mengandung pengertian dan kualitas evolusionistis yang kuat. Pengalaman diartikan sebagai ciri dinamika hidup, dan hidup adalah perjuangan, tindakan dan perbuatan. Manusia akan tetap hidup berkembang, jika ia mampu mengatasi perjuangan, perubahan dan berani bertindak.
Dalam epistemologi, rasional berarti suatu pandangan bahwa akal adalah instrument utama bagi manusia untuk memperoleh pengetahuan. Empirik adalah sifat pandangan bahwa persepsi indera adalah media yang memberikan jalan bagi manusia untuk memahami lingkungan. Fakata yang masih murni saja – yang belum diolah atau disusun – belum merupakan pengetahuan. Sehingga masih membutuhkan pengorganisasian tertentu dari “bahan-bahan mentah” tersebut.
Nilai tidak timbul dengan sendirinya, melainkan ada faktor-faktor yang merupakan pra syarat. Nilai timbul karena manusia mempunyai bahasa, sehingga memungkinkan adanya relevansi seperti yang ada dalam masyarakat pergaulan. Oleh karena adanya faktor-faktor yang menentukan adanya nilai, maka makna nilai itu tidaklah bersifat eksklusif. Ini berarti berbagai jenis nilai seperti benar atau salah, baik atau buruk dapat dikatakan ada bila menunjukkan adanya kecocokan dengan hasil pengujian yang dialami manusia dalam pergaulan.








DAFTAR PUSTAKA



Bakry, Hasbullah, Sitematik Filsafat (Widjaya, Yogyakarta, 1970).
Idris, H. Sahara dan Jamal, H Lisman, Pengantar Pendidikan (Grasindo, 1992)
Sumitro, Dkk, Pengantar Ilmu Pendidikan, IKIP Yogyakarta
Murtiningsih, Siti, Pendidikan Alat Perlawanan, Resist Book, 2004
Sadullah, Uyah. Drs, Pengantar Filsafat Pendidikan (Alfabet, Yogyakarta 2004)

FILSAFAT PENDIDIKAN PRAGMATISME

BAB I
PENDAHULUAN

Sejarah Pragmatisme
Aliran ini pertama kali tumbuh Di Amerika pada tahun 1878. Ketika itu Charles Sanders Pierce (1839 – 1914) menerbitkan sebuah makalah yang berjudul “How to Make Our Ideas Clear”.Namun pragmatisme sendiri lahir ketika William James membahas makalahnya yang berjudul ” Philosophycal Conceptions and Practical Result” (1898) dan mendaulat Pierce sebagai Bapak Pragmatisme.
Selanjutnya aliran ini makin berkembang berkat kerja keras dari William James dengan berbagai karya tulisnya. Karya tulisnya itu antara lain adalah, “A Pluralistic Essay”, “Essay in Radical Empiricism”, “The Will to Believe”, dan “The Varieties of Religious Experience”.
John Dewey juga ikut mengambil bagian dalam mempopulerkan aliran ini. Karya – karyanya antara lain adalah “Democracy and Education”, “Reconstruction in Philosophy”, “How We Think”, dan “Experience in Education”. Namun ia dan para pengikutnya lebih suka menyebut filsafatnya sebagai Instrumentalisme.

Konsep Pragmatisme
Pragmatisme berasal dari dua kata yaitu pragma dan isme. Pragam berasal dari bahasa Yunani yang berarti tindakan atau action. Sedangkan pengertian isme sama dengan pengertian isme – isme yang lainnya yang merujuk pada cara berpikir atau suatu aliran berpikir. Dengan demikian filsafat pragmatisme beranggapan bahwa fikiran itu mengikuti tindakan.
Pragmatisme menganggap bahwa suatu teori dapat dikatakan benar apabila teori itu bekerja. Ini berararti pragmatisme dapat digolongkan ke dalam pembahasan tentang makna kebenaran atau theory of thurth. Hal ini dapat kita lihat dalam buku William James yang berjudul The Meaning of Thurth.

Menurut James kebenaran adalah sesuatu yang terjadi pada ide. Menurutnya kebenaran adalah sesuatu yang tidak statis dan tidak mutlak. Dengan demikian kebenaran adalah sesuatu yang bersifat relatif. Hal ini dapat dijelaskan melalui sebuah contoh. Misalnya ketika kita menemukan sebuah teori maka kebenaran teori masih bersifat relatif sebelum kita membuktikan sendiri kebenaran dari teori itu.
Dalam The Meaning of The Truth (1909), James menjelaskan metode berpikir yang mendasari pandangannya di atas. Dia mengartikan kebenaran itu harus mengandung tiga aspek. Pertama, kebenaran itu merupakan suatu postulat, yakni semua hal yang di satu sisi dapat ditentukan dan ditemukan berdasarkan pengalaman, sedang di sisi lain, siap diuji dengan perdebatan. Kedua, kebenaran merupakan suatu pernyataan fakta, artinya ada sangkut pautnya dengan pengalaman. Ketiga, kebenaran itu merupakan kesimpulan yang telah diperumum (digeneralisasikan) dari pernyataan fakta.
Yang lebih menarik lagi adalah pragmatisme menjadikan konsekuensi – konsekuensi praktis sebagai standar untuk menentukan nilai dan kebenaran.

Menurut aliran ini hakikat dari realiatas adalah segala sesuatu yang dialami oleh manusia. Ia berpendapat bahwa inti dari realiatas adalah pengalam yang dialami manusia. Ini yang kemudian menjadi penyebab bahwa pragmatisme lebih memperhatikan hal yang bersifat keaktualan sehingga berimplikasi pada penentuan nilai dan kebenaran. Dengan demikian nilai dan kebenaran dapat ditentukan dengan melihat realitas yang terjadi di lapangan dan tidak lagi melihat faktor – faktor lain semisal dosa atau tidak.
Hal ini senada dengan apa yang dikataka James, “Dunia nyata adalah dunia pengalaman manusia.”


















BAB II
PEMBAHASAN

Filsafat Pendidikan Pragmatisme
Pendidikan menurut pandangan pragmatisme bukan merupakan suatu proses pembentukan dari luar, dan juga bukan merupakan suatu pemerkahan kekuatan- kekuatan laten dengan sendirinya ( unfolding ), melainkan merupakan suatu proses reorganisasi dan rekonstruksi dari pengalaman- pengalaman individu, yang berarti bahwa setiap manusia selalu belajar dari pengalamannya.
Menurut Jhon Dewey ( Sadulloh, 2003 ), pendidikan perlu didasarkan pada tiga pokok pikiran yaitu :
1. Pendidikan merupakan kebutuhan untuk hidup
2. Pendidikan sebagai pertumbuhan
3. Pendidikan sebagai fungsi sosial

Hidup selalu berubah menuju pembaharuan hidup, karena itu pendidikan adalah merupakan kebutuhan untuk hidup. Pendidikan berfungsi sebagai sebagai alat dan sebagai pembaharuan hidup. Dalam hidupnya manusia selalu berinteraksi, inividu yang satu dengan individu yang lainnya, dan dengan lingkungannya. Orang yang sudah dewasa yang telah banyak memiliki pengalaman hidup berinteraksi dengan manusia muda yang masih belia dalam pengalaman hidup untuk mewariskan nilai- nilai budaya dan kebudayaan itu sendiri untuk kelangsungan hidup. Terjadilah pewarisan kebudayaan, nilai, pengetahuan, dan ketrampilan serta sikap hidup kepada generasi muda. Hal ini membawa pembaharuan hidup pada generasi muda, dan pembaharuan ini akan semakin pesat perubahannya oleh karena perubahan yang terjadi dalam hidup dan kehidupan manusia dengan pengaruh ilmu pengetahuan, teknologi dan seni yang semakin pesat perubahannya. Untuk mengisi dan melengkapi kehidupan yang selalu berubah dan perkembangan maka sangat di perlukan adanya pendidikan.

1. Pendidikan Sebagai Pertumbuhan.
Menurut Jhon Dewey ( sadulloh. 2003 ), pertumbuhan merupakan suatu perubahan tindakan yang berlangsung ters menerus untuk mencapai hasil lanjutannya. Pertumbuhan juga merupakan proses pematangan oleh karena peserta didik memiliki potensi berupa kapasitas untuk berkembang atau bertumbuh menjadi sesuatu dengan adanya pengaruh lingkungan.

Hidup selalu mengalami pertumbuhan danpertumbuhan diwarnai oleh aktivitas aktif , yang berati bahwa pertumbuhan akan dipengaruhi intetitas aktivitas individu yangmenimbulkan pengalaman yang akan membawa perubahan pada dirinya. Sehigga pertumbuhan merupakan karakteristik dari hidup, sedangkan pendidikan adalah hidupitu sendiri, bukan untuk suatu persiapan.

2. Pendidikan Sebagai Fungsi sosial
Menurut Jhon Dewey ( sadulloh.2003 ) lingkungan merupakan syarat bagi pertumbuhan, dan fungsi pendidikan merupakan suatu proses membingbing dan mengembangkan. Melalui kegiatan pendidikan masyarakat membingbing peseta didik yang maih belum matang menurut susunan sosial tertentu. Dalam keadaan yang belum matang peserta didik selalu berinteraksi dengan linkungan, selalu berhubungan dengan individu lainnya. Dalam aktivitas pendidikan selalu ada interaksi yang dapat mempengaruhi dan membimbing peserta didik dapat mengembangkan diri sebagai pribadi yang dipengaruhu dan mempengaruhi dalam situasi dan lingkungan sosial.
Sekolah sebagai suatu lingkungan pendidikan dan sekaligus sebagai alat tranmisi,memiliki tiga fungsi, yakni :
1. Menyederhanakan dan mengarahkan faktor – faktor bawaan yang diharapkan untuk berkembang.
2. Membingbing dan mengarahkan kebiasaan masyarakat yang ada sesuai dengan yang mengharapkan.
3. Menciptakan suatu lingkungan yang lebih luas, dan lebih baik yang diperuntukan bagi peserta didik untuk mengembangkan kemampuan mereka.

3. Tujuan Pendidikan
Filsuf paragmatisme berpendapat bahwa pendidikan harus mengajarkan seseorang tentang bagaimana berfikir dan menyesuaikan diri terhadap perubahan yang terjadi di dalam masyarakat. Sekolah harus bertujuan untuk mengembangkan pengalaman-pengalaman yang akan memungkinkan seseorang terarah kepada kehidupan yang baik. Tujuan-tujuan pendidikan tersebut meliputi
• Kesehatan yang baik
• Keterapilan-keterampian dan kejujuran dalam bekerja
• Minat dan hobi untuk kehidupan yag menyenangkan
• Persiapan untuk menjadi orang tua
• Kemampuan untuk bertransaksi secara efektif dengan masalah-masalah sosial

Tambahan tujuan khusus pendidikan di atas yaitu untuk pemahaman tentang pentingnya demokrasi. Menurut pragmatisme pendidikan hendaknya bertujuan menyediakan pengalaman untuk menemukan/memecahkan hal-hal baru dalam kehidupan peribadi dan kehidupan sosial.
2. Kurikulum
Menurut para filsuf paragmatisme, tradisis demokrasi adalah tradisi memperbaiki diri sendiri (a self-correcting trdition). Pendidikan berfokus pada kehidupan yang aik pada masa sekarang dan masa yang akan datang. Kurikilum pendidikan pragmatisme “berisi pengalaman-pengalaman yang telah teruji, yang sesuai dengan minat dan kebutuhan siswa. Adapun kurikulum tersebut akan berubah”
3. Metode Pendidikan
Ajaran pragmatisme lebih mengutamakan penggunaan metode pemecahan masalah (problem solving method) serta metode penyelidikan dan penemuan (inquiri and discovery method). Dalam praktiknya (mengajar), metode ini membutuhkan guru yang memiliki sifat pemberi kesempatan, bersahabat, seorang pembimbing, berpandangan terbuka, antusias, kreatif, sadar bermasyarakat, siap siaga, sabar, bekerjasama, dan bersungguh-sungguh agar belajar berdasarkan pengalaman dapat diaplikasikan oleh siswa dan apa yang dicita-citakan dapat tercapai.

4. Peranan Guru dan Siswa

Dalam pembelajaran, peranan guru bukan “menuangkan” pengetahuanya kepada siswa. Setiap apa yang dipelajari oleh siswa haruslah sesuai dengan kebutuhan, minat dan masalah pribadinya. Pragmatisme menghendaki agar siswa dalam menghadapi suatu pemasalahan, hendaknya dapat merekonstruksi lingkungan untuk memecahkan kebutuhan yang dirasakannya.
Untuk membantu siswa guru harus berperan:
a. Menyediakan berbagai pengalaman yang akan memuculkan motivasi. Field trips, film-film, catatan-catatan, dan tamu ahli merupakan contoh-contoh aktivitas yang dirancang untuk memunculkan minat siswa.
b. Membimbing siswa untuk merumuskan batasan masalah secara spesifik
c. Membimbing merencanakan tujuan-tujuan individual dan kelompok dalam kelas guna
memecahkan suatu masalah
d. Membantu para siswa dalam mengumpulkan informasi berkenaan dengan masalah.
e. Bersama-sama kelas mengevaluasi apa yang telah dipelajari, bagaimana mereka mempelajarinya, dan informasi baru yang ditemukan oleh setiap siswa.

Edward J. Power (1982) menyimpulkan pandangan pragmatisme bahwa “Siswa merupakan organisme rumit yang mempunyai kemampuan luar biasa untuk tumbuh, sedangkan guru berperan untuk memimpin dan membimbing pengalaman belajar tanpa ikut campur terlalu jauh atas minat dan kebutuhan siswa”.

Callahan dan Clark menyimpulkan bahwa orientasi pendidikan pragmatisme adalah progresivisme. Artinya, pendidikan pragmatisme menolak segala bentuk formalisme yang berlebihan dan membosankan dari pendidikan sekolah yang tradisional. Anti terhadap otoritarianisme dan absolutisme dalam berbagai bidang kehidupan.





















DAFTAR PUSTAKA

Syaripudin, Tatang. 2006. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: Percikan Ilmu.
Hardono Hadi, P. ( 1994 ). Hakikat dan Muatan Filsafat Pendidikan. Jakarta: Kanisius.
Jalaluddin, H. Dan Abdullah Idi. 1997. Filsafat Pendidikan. Manusia, Filsafat dan Pendidikan. Jakarta: Gaya Media Pratama.
Mudyahardjo, R. ( 2004 ). Filsafat Ilmu Pendidikan: Suatu Pengantar. Bandung: Putra Bardin
Sadulloh, Uyoh. 2003. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: CV.Alfabeta.
Suharton, S. I. (2005). Konsep dan Makna Pembelanjaran. Yogyakarta: Ar Ruzz Media..